PUISI LAKNAT HUJAN

Karya: Martinianus Primus Mbeu, S.ip

Baru saja ku berjalan pulang dari tempat ku mencari nafkah.
Tak ada yang menemani hanya, sekumpulan air yang turun bergerombolan.
Aku basah…Aku Basah.

Tapi bukan aku saja yang mengalami.
Yang lebih mengenaskan adalah ketika aku pulang, aku melihat tunawisma.
Ia dikeroyok oleh sekumpulan air dari langit.
Aku sedih…Ternyata aku kurang bersyukur.

Puisi ini kutuliskan…
Sebagaimana aku ingin memuji…
Sebagaimana aku bersyukur tanpa harus berkata indah…

Aku melaknat hujan…
Dikala aku melihat masih banyak mereka yang tidak punya rumah dikeroyok oleh air dari langit.
Sementara aku tetap menembus sekumpulan itu.
Agar aku bisa tiba dirumah.

Aku melaknat hujan….
Ketika air hujan turun ke dalam bajuku..
Sementara mereka yang tak punya baju tetap semangat mencari rizki.
Siapa aku ini diantar sekumpulan hujan itu?

Hujan memang memberikan riski.
Pada aku…dia…dan mereka yang mencari rejeki halal.
Ini menunjukan..Bahwa sang khalik tak melihat engkau kaya atau miskin.
Ketika hujan turun..Baju tetap sama…Yaitu Basah..

Aku melaknat hujan…
Ketika aku melihat ibu-ibu menggendong bayi dan duduk di dekat ruko hanya bersandarkan kardus.
Entah aku tak tahu apakah itu sandiwara dia? Entah aku tak tahu apakah dia benar-benar tak punya rumah?
Aku ingin melaknat hujan…Agar hujan selalu memberikan rejeki pada ibu itu…
Lalu aku mengeluarkan dompetku yang tertinggal cuma 20ribu. Tak semua ku bagi…
Ku sisakan 5ribu untuk menjaga-jaga.
Siapa tahu Tuhan memberikan aku ujian?

Setelah aku pulang..
Entah apa yang ku pikirkan tentang ibu itu dan bayi nya…Apakah dia akan tinggal di pinggiran ruko? Dan aku sekali lagi melaknat hujan….

Untung saja saat ini tak ada angin atau petir.
Aku tak mampu bayangkan bilamana ibu dan bayinya ketakutan. Ingin ku memaki hujan. Inginku melaknat hujan yang membuat orang pinggiran harus merasakan keringnya air dari tubuhnya.

Tapi aku tak mampu melaknat hujan…
Karena hujan pun memberikan rejeki pada para pengendara ojek payung yang berteriak: “Om payung om…Cuma 5ribu saja…Mari saya antarkan”.
Pernah aku melihat itu. Ketika aku sehabis pulang ku kerja. Aku turun dari kereta api. Dan kemudian dihampiri oleh para pengendara ojek payung.

Aku melaknat hujan.
Bukan untuk membencinya. Tapi aku ingin menuliskan rasa yang dalam. Penuh syukur.

Aku melaknat hujan.
Karena aku tak tega…ada peristiwa yang kuceritakan ibu dan bayinya kebasahan.
Dan duduk diatas kardus sambil menggendong.
Dimanakah rumahnya? Dimanakah suaminya? Tak peduli kah ia pada istrinya.

Barisan puisi ini. Ku persembahkan pada alam..kepada dewata…dan kepada sang pencipta…
Agar seandainya mereka bisa membaca tentang laknat hujanku…
Supaya Sang Khalik tetap memberikan rejeki dan ketegaran pada tuna wisma itu.
Sementara yang lain tak ada yang peduli dalam Laknat Hujanku.

Sekian.

Cibinong, 27 Juli 2017

Leave a comment